BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Gejolak
harga minyak dunia sebenarnya sudah mulai terlihat sejak tahun 2000. Tiga tahun
berikutnya harga terus naik seiring dengan menurunnya kapasitas cadangan. Ada
sejumlah faktor penyebab terjadinya gejolak ini, salah satunya adalah persepsi
terhadap rendahnya kapasitas cadangan harga minyak yang ada saat ini, yang
kedua adalah naiknya permintaan (demand) dan di sisi lain terdapat kekhawatiran
atas ketidakmampuan negara-negara produsen untuk meningkatkan produksi,
sedangkan masalah tingkat utilisasi kilang di beberapa negara dan menurunnya
persediaan bensin di Amerika Serikat juga turut berpengaruh terhadap posisi
harga minyak yang terus meninggi. (Republika Online, Selasa 28 Juni 2005).
Hal
ini kemudian direspon oleh pemerintah di beberapa negara di dunia dengan
menaikkan harga BBM. Demikian juga dengan Indonesia, DPR akhirnya menyetujui
rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak pada hari Selasa 27
September 2005 sebesar minimal 50%. Kebijakan kenaikan harga BBM dengan angka
yang menakjubkan ini tentu saja menimbulkan dampak yang signifikan terhadap
perekonomian sehingga kebijakan ini menimbulkan banyak protes dari berbagai
kalangan. Keputusan pemerintah menaikkan harga bensin, solar, dan minyak tanah
sejak 1 Oktober 2005 akibat kenaikan harga minyak mentah dunia hingga lebih
dari 60 Dolar AS per barel dan terbatasnya keuangan pemerintah ini direspon
oleh pasar dengan naiknya harga barang kebutuhan masyarakat yang lain. Biaya
produksi menjadi tinggi, harga barang kebutuhan masyarakat semakin mahal
sehingga daya beli masyarakat semakin menurun. Secara makro cadangan devisa
negara banyak dihabiskan oleh Pertamina untuk mengimpor minyak mentah.
Tingginya permintaan valas Pertamina ini, juga menjadi salah satu penyebab
terdepresinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Metrotvnews.com, 28
September 2005).
Terjadinya
hubungan timbal balik antara naiknya biaya produksi dan turunnya daya beli
masyarakat berarti memperlemah perputaran roda ekonomi secara keseluruhan di
Indonesia. Kondisi ini dapat mempengaruhi iklim investasi secara keseluruhan
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek naiknya
harga BBM tersebut disikapi oleh pelaku pasar, khususnya pelaku pasar modal
sebagai pusat perputaran dan indikator investasi.
Kontroversi
kenaikan harga minyak ini bermula dari tujuan pemerintah untuk menyeimbangkan
biaya ekonomi dari BBM dengan perekonomian global. Meskipun perekonomian
Indonesia masih terseok mengikuti perkembangan perekonomian dunia, akhirnya
kebijakan kenaikan BBM tetap dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober 2005.
Akibatnya, perilaku investasi di Indonesia sangat memungkinkan mengalami
perubahan. Setiap peristiwa berskala nasional apalagi yang terkait langsung
dengan permasalahan ekonomi dan bisnis menimbulkan reaksi para pelaku pasar
modal yang dapat berupa respon positif atau respon negatif tergantung pada
apakah peristiwa tersebut memberikan stimulus positif atau negatif terhadap
iklim investasi. Berdasarkan pada argumentasi di atas, maka dimungkinkan akan
terjadi reaksi negatif para pelaku pasar modal setelah pengumuman tersebut.
Tetapi jika yang terjadi sebaliknya bahwa kenaikan harga BBM ini direaksi
positif oleh pelaku pasar, maka kesimpulan sederhana dari dampak peristiwa
pengumuman tersebut adalah bahwa naiknya harga BBM memberikan stimulus positif
pada perekonomian Indonesia.
Dengan
berkembangnya kontroversi pro dan kontra terhadap kenaikan harga BBM tersebut,
penelitian ini berusaha mengetahui dampak langsung peristiwa kenaikan BBM
terhadap kondisi masyarakat kecil di Indonesia.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis ingin mengulas lebih dalam lagi dengan karya tulis
yang berjudul, “Pengaruh Kenaikan BBM
Terhadap Kondisi Masyarakat Kecil”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
·
Apakah
terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat kecil di Indonesia
sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM ?
·
Bagaimana
menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi masyarakat kecil di
Indonesia ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuan dan manfaat penulisan adalah sebagai
berikut :
·
Untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi masyarakat
kecil di Indonesia sebelum dan sesudah peristiwa kenaikan harga BBM.
·
Untuk
mengetahui bagaimana menanggulangi dampak kenaikan harga BBM pada kondisi
masyarakat kecil di Indonesia
BAB 2
ISI
2.1
Kenaikan BBM
Bahan
Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan sangat vital dalam
semua aktifitas ekonomi. Dampak langsung perubahan harga minyak ini adalah
perubahan-perubahan biaya operasional yang mengakibatkan tingkat keuntungan
kegiatan investasi langsung terkoreksi. Secara sederhana tujuan investasi
adalah untuk maksimisasi kemakmuran melalui maksimisasi keuntungan, dan
investor selalu berusaha mananamkan dana pada investasi portofolio yang efisien
dan relatif aman.
Kenaikan
harga BBM bukan saja memperbesar beban masyarakat kecil pada umumnya tetapi
juga bagi dunia usaha pada khususnya. Hal ini dikarenakan terjadi kenaikan pada
pos-pos biaya produksi sehingga meningkatkan biaya secara keseluruhan dan
mengakibatkan kenaikan harga pokok produksi yang akhirnya akan menaikkan harga
jual produk. Multiple efek dari kenaikan BBM ini antara lain meningkatkan biaya
overhead pabrik karena naiknya biaya bahan baku, ongkos angkut ditambah pula
tuntutan dari karyawan untuk menaikkan upah yang pada akhirnya keuntungan
perusahaan menjadi semakin kecil. Di lain pihak dengan kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak tersebut akan memperberat beban hidup masyarakat yang pada
akhirnya akan menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Turunnya daya
beli masyarakat mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak
perusahaan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan penjualan yang pada
akhirnya juga akan menurunkan laba perusahaan.
2.2
Kenaikan BBM Menyebabkan Inflasi
Kekhawatiran
banyak terjadi kalangan atas dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang
sangat begitu drastis menjadi kenyataan. Angka laju inflasi yang diumumkan dua
hari sebelum Idul Fitri betul-betul di luar dugaan hampir semua pemerhati
ekonomi dan bahkan kalangan pemerintah sendiri.
Dengan
mengacu pada inflasi kumulatif Januari-September 2005 sebesar 9,1 persen,
inflasi bulan Oktober sebesar 8,7 persen tentu saja tergolong luar biasa
sehingga membuat inflasi kumulatif Januari-Oktober menjadi 15,6 persen. Inflasi
Oktober berdasarkan perhitungan "tahun ke tahun" (year on year) lebih
tinggi lagi, yakni 17,9 persen. Berdasarkan angka-angka itu, laju inflasi tahun
2005 diperkirakan berkisar 16-18 persen atau titik tengahnya adalah 17 persen.
Di
awal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), seorang menteri ekonomi
menegaskan bisa menahan laju inflasi tahun 2005 di sekitar 10 persen. Lalu
beberapa hari kemudian dikoreksi menjadi kira-kira 12 persen, selanjutnya
kembali dikoreksi menjadi 14 persen. Kali ini dan untuk ke sekian kalinya
pemerintah salah langkah. Hitung-hitungan pemerintah jelas keliru dan
menyederhanakan masalah.
Memang
disadari bahwa besarnya disparitas harga BBM di dalam dan luar negeri
menimbulkan banyak masalah. Namun, sangat tidak realistis untuk menyelesaikan
semua masalah itu sekaligus dengan hanya menggunakan satu jurus pamungkas,
yakni kenaikan harga BBM sebesar 114 persen berdasarkan rata-rata tertimbang.
Padahal,
kaidah Tinbergen (Tinbergen's rule) mengatakan bahwa satu instrumen kebijakan
hanya bisa secara efektif menyelesaikan satu masalah saja. Memang pemerintah
menggulirkan beberapa obat penawar rasa sakit dalam bentuk paket insentif bagi
dunia usaha yang meliputi paket fiskal, reformasi di bidang tata niaga dan
transportasi, serta kebijakan di bidang perberasan.
Pemerintah
juga mengucurkan dana bantuan langsung tunai (BLT) bagi setiap keluarga miskin
sebesar Rp 100.000 per bulan yang dibayarkan di muka sekaligus untuk tiga
bulan. Dengan BLT ini bahkan pemerintah sangat yakin bisa menekan jumlah orang
miskin—sungguh suatu perhitungan yang teramat matematik—statik yang seolah-olah
menempatkan 220 juta penduduk Indonesia bagaikan mesin tanpa jiwa dan emosi di
dalam laboratorium yang terisolasi.
Dengan
mempertimbangkan bahwa paket insentif dan BLT sangat terbatas cakupannya dan
mengingat pula belum semua terwujud, serta masalah-masalah baru yang muncul
sehingga diragukan efektivitasnya, maka tohokan kenaikan harga BBM berpotensi
menambah dan memperpanjang penderitaan rakyat. Tanda-tanda ke arah sana sudah
semakin nyata.
Berdasarkan
perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu
berdampak seketika terhadap peningkatan pengangguran terbuka sebanyak 426.000
pekerja. Jajaran penganggur ini niscaya akan terus bertambah panjang dalam
setahun ke depan karena gelombang PHK akan terus berlanjut setelah Lebaran dan
Tahun Baru nanti.
Tak
seperti krisis tahun 1998 yang membuat banyak perusahaan besar—terutama yang
banyak berutang dalam mata uang asing, memiliki kandungan impor yang besar, dan
berorientasi pada pasar dalam negeri—terempas, sementara usaha kecil dan
menengah (UKM) dan atau sektor informal justru mampu bertahan, dampak kenaikan
harga BBM kali ini lebih berat dirasakan oleh UKM dan bersifat seketika.
Padahal, UKM inilah yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.
Usaha
berskala menengah-besar diperkirakan mulai mengalami tekanan serius pada tahap
selanjutnya. Salah satu penyebab utamanya ialah kenaikan tajam suku bunga
pinjaman. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keniscayaan Bank Indonesia
untuk terus-menerus meredam instabilitas makro-ekonomi. Pada hari yang
bersamaan dengan pengumuman angka inflasi oleh BPS, Bank Indonesia menaikkan BI
Rate sebesar 125 basis poin menjadi 12,25 persen. Inilah kenaikan BI Rate
tertinggi sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya pada 5 Juli tahun ini.
Karena
negeri kita tergolong sebagai small open-economy yang menerapkan rezim devisa
bebas, sehingga membawa konsekuensi untuk menjaga interest rate differential
dengan luar negeri, maka hampir bisa dipastikan bahwa Bank Indonesia akan terus
menaikkan BI Rate.
Jika
ekspektasi masyarakat terhadap inflasi "manteng" pada angka 17
persen, maka suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor satu bulan
hingga Desember akan bergerak cepat ke tingkat 15 persen. Jika pada angka ini
posisi rupiah terus mengalami tekanan "berat", maka boleh jadi suku
bunga SBI akan terus dinaikkan. Berdasarkan pengalaman dua tahun terakhir saja,
serta dengan mengambil selisih rata-rata suku bunga SBI bertenor satu bulan dan
angka inflasi yang amat konservatif sebesar 1-1,5 persen, maka suku bunga SBI
berpotensi terus naik mendekati 20 persen.
Menghadapi
tekanan yang bertubi-tubi, termasuk kenaikan suku bunga pinjaman, membuat dunia
usaha kian kalang kabut.
Kenaikan
suku bunga bisa diredam asalkan pergerakan nilai tukar rupiah agak dibiarkan
fleksibel. Karena, kiranya amat sulit mencapai target suku bunga rendah dan
rupiah kuat bersamaan. Pilihan pahit ini harus dipilih mau yang paling sedikit
biayanya bagi perekonomian atau yang mana.
Bagaimana
jika kurs yang dibiarkan mengambang akan mengarah pada destabilizing
speculation? Pilihan ekstrem kalau memang suku bunga tinggi lebih memukul
perekonomian ialah mem-peg nilai rupiah. Sekalipun opsi ini sangat ditentang
oleh penganut aliran ekonomi mainstream, tak ada salahnya untuk mulai
menghitung-hitung untung-rugi dan prakondisi yang harus terpenuhi. Paling tidak
pemberlakuannya bersifat darurat dan sangat sementara.
Tantangan
jangka pendek ini harus dihadapi dengan sangat hati-hati. Segala tindakan pemerintah
harus betul-betul terukur. Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal. Secara
teknis, kenaikan harga BBM tak mungkin lagi dikoreksi karena dampak terhadap
kenaikan harga-harga boleh dikatakan sudah terjadi penuh.
Akibat
kenaikan harga BBM yang tak kepalang, pekerjaan rumah pemerintah bukannya
berkurang, malahan bertambah banyak dan lebih pelik serta lebih berisiko.
Investor asing dan lembaga-lembaga internasional memuji langkah berani
pemerintah. Para kreditor mengamini karena terang saja mereka merasa lebih
nyaman jika APBN lebih banyak dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan
utang. Jadi, apa bedanya antara memberi subsidi kepada rakyat dan membayar suku
bunga lebih tinggi kepada kreditor asing?
Kita
berharap pemerintah lebih peka pada derita rakyatnya sendiri. Kepentingan
nasional harus di atas segala-galanya. Kita harus berdaulat secara politik dan
ekonomi. Keadilan harus jadi acuannya. Banyak pilihan kebijakan yang masih
tersedia untuk mewujudkannya asalkan kita mau mengubah pola pikir kita yang
selama ini terlalu dibelenggu oleh setting perekonomian negara maju yang
kelembagaannya sudah sedemikian sangat lengkap, dan tidak korup.
2.3
Dampak Kenaikan BBM Pada Masyarakat
Kecil
Walaupun
dampak kenaikan harga BBM tersebut sulit dihitung dalam gerakan kenaikan
inflasi, tetapi dapat dirasakan dampak psikologisnya yang relatif kuat. Dampak
ini dapat menimbulkan suatu ekspektasi inflasi dari masyarakat yang dapat
mempengaruhi kenaikan harga berbagai jenis barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini
muncul karena pelaku pasar terutama pedagang eceran ikut terpengaruh dengan
kenaikan harga BBM dengan cara menaikkan harga barang-barang dagangannya. Dan
biasanya kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terjadi ketika
isu kenaikan harga BBM mulai terdengar.
Perilaku
kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat setelah terjadi kenaikan
harga beberapa jenis BBM seperti premium (bensin pompa), solar, dan minyak
tanah dari waktu ke waktu relatif sama. Misalnya, dengan naiknya premium
sebagai bahan bakar transportasi akan menyebabkan naiknya tarif angkutan.
Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut maka akan mendorong kenaikan harga
barang-barang yang banyak menggunakan jasa transportasi tersebut dalam
distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan harga solar yang mengalami
kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa yang dalam proses
produksinya menggunakan solar sebagai sumber energinya.
Begitu
seterusnya, efek menjalar (contagion
effect) kenaikan harga BBM terus mendongkrak biaya produksi dan operasional
seluruh jenis barang yang menggunakan BBM sebagai salah satu input produksinya
yang pada akhirnya beban produksi tersebut dialihkan ke harga produk yang
dihasilkannya. Kenaikan harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan kenaikan
harga di berbagai level harga, seperti harga barang di tingkat produsen,
distributor/pedagang besar sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran.
Gerakan kenaikan harga dari satu level harga ke level harga berikutnya dalam
suatu saluran perdagangan (distribution channel) adakalanya memerlukan waktu
(time lag). Tetapi, yang jelas muara dari akibat kenaikan harga BBM ini adalah
konsumen akhir yang notabene adalah berasal dari kebanyakan masyarakat ekonomi
lemah yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari dengan membeli
barang-barang kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran. Dan biasanya
kenaikan harga di tingkat eceran (retail
price) ini lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga di tingkat harga
produsen (producer price) maupun di
tingkat pedagang besar (wholesale price).
Kenaikan
harga beberapa jenis BBM bulan Mei 1998, terulang kembali di bulan Juni 2001
dengan beberapa skenario kenaikan harga beberapa jenis BBM (premium, solar,
minyak tanah). Menurut salah satu sumber di Badan Pusat Statistik, untuk jenis
barang BBM yang harganya ditentukan pemerintah, hampir 50 persen dari pengaruh
kenaikan BBM sudah dihitung dalam penghitungan inflasi pada bulan Juni 2001.
Misalnya bensin naik dari Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.450/liter. Karena
kenaikan BBM terjadi di bulan Juni, nilai yang digunakan dalam penghitungan
inflasi bulan Juni adalah ((1150 + 1450)/2) = 1300 sehingga perubahan yang
digunakan adalah perubahan dari harga Rp 1.150/liter menjadi Rp 1.300/liter
atau naik 13,04 persen. Sementara untuk bulan Juli 2001, perubahan harga yang
dihitung adalah dari harga bensin Rp 1.300/liter menjadi Rp 1.450/ liter atau
naik 11,54 persen. Perlakuan ini juga berlaku untuk jenis barang BBM lainnya.
Dengan
demikian, pada bulan Juli 2001, sumbangan inflasi dari BBM (bensin, solar, dan
minyak tanah) akan mencapai 0,28 persen. Ditambah lagi sumbangan inflasi
pelumas/oli yang apabila naik 15 persen akan memberikan sumbangan inflasi
sebesar 0,05 persen. Sumbangan inflasi dari BBM akan bertambah besar jika
komponen BBM lainnya yang tidak ditetapkan pemerintah bergerak sesuai selera
pasar. Tekanan inflasi akan semakin besar apabila pemerintah menaikkan tarif
dasar listrik rata-rata.
Dampak
ini hanya sebagian kecil saja yang terjangkau dari pandangan kita. Justru
dampak tak langsung yang merupakan hasil multiplier
effect dapat menyeret tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
Inflasi
bulan Juni 2001 sebesar 1,67 persen dan laju inflasi dari Januari-Juni 2001
sudah mencapai 5,46 persen, dengan adanya kenaikan harga BBM sepertinya
pemerintah harus merevisi asumsi inflasi APBN tahun 2001 yang hanya berkisar
9,3 persen menjadi inflasi dua digit.
BAB 3
PUNUTUP
3.1 Kesimpulan
Kenaikan
harga BBM selalu disertai dengan kenaikan harga-harga kebutuhan yang lain,
karena BBM merupakan faktor bahan baku yang utama bagi sektor industri.
Sehingga dampak kenaikan harga BBM pasti akan sangat dirasakan oleh masyarakat
luas, khususnya masyarakat kecil.
Untuk
menyiasati kenaikan harga BBM bagi para produsen adalah dengan cara makin
kreatif, mencoba memberikan nilai tambah produk dari aspek yang tidak
menjadikan harga naik, seperti aspek desain, model dan aplikasi yang menarik.
Hal ini perlu dilakukan agar harga produk tidak ikut naik terlalu tinggi.
Mulyono, Rubrik Pembaca Menulis,
Kompas Cybermedia, 20 April 2001.
Majalah Trend Data. Edisi Mei 2002.
Arya Yoga, Dampak Kenaikan Harga
BBM. 2008. http://reincarbonated.multiply.com
Jawa Pos Online, 30 Januari 2002. Mensiasati
Dampak Kenaikan BBM Bagi Pengusaha Kecil.